Umat dikatakan sempurna dalam
pelaksanaan rukun Islam ketika ia telah mengucapkan syahadatain,
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah,
kemudian tertunaikannya shalat 5 waktu, zakat, puasa, dan menunaikan penyempurnanya
yakni ibadah haji ke tanah suci bagi yang mampu. Semua umat muslim pastilah
berkeinginan menunaikannya. Selain itu
juga karena memang diwajibkannya ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima
sebagaimana dalam potongan ayat ke-97 dalam surat Ali Imran yang berbunyi wa lillaahi ‘ala an naasi hijju al baiti, yang artinya mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah.
Dalam menunaikan ibadah haji,
seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti halnya dalam mendirikan shalat, menunaikan zakat,
dan berpuasa. Seseorang mendapat kewajiban menunaikan ibadah haji ketika
memenuhi 7 syarat. Yakni dia muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu,
perjalanannya aman, memungkinkannya perjalanan. Mampu yang dimaksud di sini
adalah mampu dalam hal ketersediaannya bekal dan alat transportasi. Sedangkan
perjalanan yang aman maksudnya adalah tidak sedang terjadi peperangan sehingga
mengancam keselamatan jiwa seseorang apabila menunaikan haji[1].
Haji juga mempunyai rukun-rukun yang
berjumlah empat, bahkan ada yang mengatakan sampai enam. Pertama, orang
tersebut harus berihram disertai niat. Ihram adalah seperti saat melakukan takbiiratu
al ihraam pada waktu shalat. Artinya, selesai berniat, diharamkan hal-hal
yang membatalkannya, di antaranya melakukan hubungan badan. Kedua, melaksanakan
wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah dari tergelincirnya matahari sampai
terbitnya fajar hari raya Idul Adha. Wukuf secara bahasa artinya berdiam diri.
Memang dalam rukun ini cukup berdiam diri di tanah Arafah, bahkan boleh saja
kalau pun tidur atau hanya lewat saja. Namun sangat dianjurkan diisi dengan
berdzikir kepada Allah. Sejarah singkat tentang penamaan Arafah itu konon di
situ lah tempat beliau nabi Adam a.s. berjumpa(‘arafa : tahu) dengan Hawa.
Wukuf menjadi acara inti dari pada haji, sebagaimana hadits al hajju
‘arafata, artinya haji adalah Arafah, wukuf di Arafah. Ketiga, melakukan tawaf
ifadhah. Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan pola melawan arah
jarum jam dan dimulai di arah Hajar Aswad. Waktu pelaksanaannya adalah tengah
malamnya hari raya Idul Adha. Dikatakan bahwa tawaf ifadhah ini adalah
rukun yang paling utama, akan tetapi pendapat itu ditentang az Zarkasyi.
Keempat, sai antara bukit Shafa dan Marwah. Sai adalah lari-lari ringan yang
dilakukan di antara bukit Shafa dan Marwah selama 7 putaran berawal dari bukit Shafa
dan berakhir di bukit Marwah. Waktu sai adalah setelah melakukan tawaf ifadhah.
Kelima, memotong rambut kepala minimal 3 helai selesai sai. Kegiatan tersebut
biasa dikenal dengan sebutan tahallul, yang dapat diartikan orang yang
berihram tersebut boleh atau halal melakukan sebagian hal yang sebelumnya
diharamkan. Keenam, tertib. Jadi dalam
serangkaian acara haji tersebut harus dilakukan secara berurutan dari ihram
sampai tahallul[2].
Selain syarat dan rukun, haji juga
mempunyai wajib-wajib dan beberapa kesunahan. Wajib-wajib haji yakni ihram dari
miqat(batas), bermalam di Mina dan Muzdalifah, melempar jamarat, dan tawaf wada’(ketika akan meninggalkan
kota Makkah)[3].
Miqat sendiri ada dua macam, zamani(waktu) dan makani(tempat).
Miqat zamani kebanyakan ulama berpendapat mulai bulan Syawwal sampai
tanggal 10 bulan Dzulhijjah[4].
Sementara itu, miqat makani ada 5, yakni Dzulhulaifah, Yalamlam,
Aljuhfah, Qarnul Manazil, dan Dzatu ‘Irqin. Adapun bermalam di Mina dan
Muzdalifah dilakukan setelah wukuf di Arafah. Di Muzdalifah kebanyakan jamaah
haji mengambil kerikil untuk pelaksanaan melemar jamarat yang dimulai
tanggal 10 Dzulhijjah. Sementara kesunahan haji yakni melaksanakan haji ifrad(mendahulukan
haji dari pada umrah), membaca talbiyah(labbaika allahumma labbaik,
labbaika laa syarika laka labbaik, inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk,
laa syarika laka), melaksanakan tawaf qudum(tawaf ketika memasuki
kota Makkah), serta mandi sunah dan memakai wewangian ketika akan berihram[5].
[1] Utsman bin Sulaiman as Suwaifi, Hasyiah al Bujairami ‘ala al
Khatib, al Maktabah al Syamilah, juz 7 hlm. 79-97
[2] Zainuddin al Malibari, Fath al Mu’in, al Maktabah al Syamilah, juz
2 hlm. 287-292
[3] Zakariya al Anshari, Tuhfat al Thullab, Surabaya : Maktabah Al
Hidayah, hlm. 55-56
[4] Muhammad Ali al Sabouni, Rawai’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min
al Quran, Jakarta : Darul Kitab Al Islamiyah, juz 1 hlm. 197
[5] Zakariya al Anshari, loc. cit.
0 comments:
Post a Comment