Sunday, September 18, 2016

Haji


Umat dikatakan sempurna dalam pelaksanaan rukun Islam ketika ia telah mengucapkan syahadatain, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, kemudian tertunaikannya shalat 5 waktu, zakat, puasa, dan menunaikan penyempurnanya yakni ibadah haji ke tanah suci bagi yang mampu. Semua umat muslim pastilah berkeinginan menunaikannya. Selain  itu juga karena memang diwajibkannya ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima sebagaimana dalam potongan ayat ke-97 dalam surat Ali Imran yang berbunyi  wa lillaahi ‘ala an naasi hijju al baiti,  yang artinya mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.

Dalam menunaikan ibadah haji, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti halnya  dalam mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan berpuasa. Seseorang mendapat kewajiban menunaikan ibadah haji ketika memenuhi 7 syarat. Yakni dia muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu, perjalanannya aman, memungkinkannya perjalanan. Mampu yang dimaksud di sini adalah mampu dalam hal ketersediaannya bekal dan alat transportasi. Sedangkan perjalanan yang aman maksudnya adalah tidak sedang terjadi peperangan sehingga mengancam keselamatan jiwa seseorang apabila menunaikan haji[1].

Haji juga mempunyai rukun-rukun yang berjumlah empat, bahkan ada yang mengatakan sampai enam. Pertama, orang tersebut harus berihram disertai niat. Ihram adalah seperti saat melakukan takbiiratu al ihraam pada waktu shalat. Artinya, selesai berniat, diharamkan hal-hal yang membatalkannya, di antaranya melakukan hubungan badan. Kedua, melaksanakan wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah dari tergelincirnya matahari sampai terbitnya fajar hari raya Idul Adha. Wukuf secara bahasa artinya berdiam diri. Memang dalam rukun ini cukup berdiam diri di tanah Arafah, bahkan boleh saja kalau pun tidur atau hanya lewat saja. Namun sangat dianjurkan diisi dengan berdzikir kepada Allah. Sejarah singkat tentang penamaan Arafah itu konon di situ lah tempat beliau nabi Adam a.s. berjumpa(‘arafa : tahu) dengan Hawa. Wukuf menjadi acara inti dari pada haji, sebagaimana hadits al hajju ‘arafata, artinya haji adalah Arafah, wukuf di Arafah. Ketiga, melakukan tawaf ifadhah. Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan pola melawan arah jarum jam dan dimulai di arah Hajar Aswad. Waktu pelaksanaannya adalah tengah malamnya hari raya Idul Adha. Dikatakan bahwa tawaf ifadhah ini adalah rukun yang paling utama, akan tetapi pendapat itu ditentang az Zarkasyi. Keempat, sai antara bukit Shafa dan Marwah. Sai adalah lari-lari ringan yang dilakukan di antara bukit Shafa dan Marwah selama 7 putaran berawal dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah. Waktu sai adalah setelah melakukan tawaf ifadhah. Kelima, memotong rambut kepala minimal 3 helai selesai sai. Kegiatan tersebut biasa dikenal dengan sebutan tahallul, yang dapat diartikan orang yang berihram tersebut boleh atau halal melakukan sebagian hal yang sebelumnya diharamkan. Keenam,  tertib. Jadi dalam serangkaian acara haji tersebut harus dilakukan secara berurutan dari ihram sampai tahallul[2].

Selain syarat dan rukun, haji juga mempunyai wajib-wajib dan beberapa kesunahan. Wajib-wajib haji yakni ihram dari miqat(batas), bermalam di Mina dan Muzdalifah, melempar jamarat, dan  tawaf wada’(ketika akan meninggalkan kota Makkah)[3]. Miqat sendiri ada dua macam, zamani(waktu) dan makani(tempat). Miqat zamani kebanyakan ulama berpendapat mulai bulan Syawwal sampai tanggal 10 bulan Dzulhijjah[4]. Sementara itu, miqat makani ada 5, yakni Dzulhulaifah, Yalamlam, Aljuhfah, Qarnul Manazil, dan Dzatu ‘Irqin. Adapun bermalam di Mina dan Muzdalifah dilakukan setelah wukuf di Arafah. Di Muzdalifah kebanyakan jamaah haji mengambil kerikil untuk pelaksanaan melemar jamarat yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Sementara kesunahan haji yakni melaksanakan haji ifrad(mendahulukan haji dari pada umrah), membaca talbiyah(labbaika allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk, laa syarika laka), melaksanakan tawaf qudum(tawaf ketika memasuki kota Makkah), serta mandi sunah dan memakai wewangian ketika akan berihram[5].


[1] Utsman bin Sulaiman as Suwaifi, Hasyiah al Bujairami ‘ala al Khatib, al Maktabah al Syamilah, juz 7 hlm. 79-97
[2] Zainuddin al Malibari, Fath al Mu’in, al Maktabah al Syamilah, juz 2 hlm. 287-292
[3] Zakariya al Anshari, Tuhfat al Thullab, Surabaya : Maktabah Al Hidayah, hlm. 55-56
[4] Muhammad Ali al Sabouni, Rawai’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Quran, Jakarta : Darul Kitab Al Islamiyah, juz 1 hlm. 197
[5] Zakariya al Anshari, loc. cit.

0 comments:

Post a Comment