Sunday, October 23, 2016

Apa Sih Bedanya Pengukuran, Penilaian, dan Evaluasi?

Halo kawan!

Pernah enggak sih kalian bingung apa bedanya pengukuran, penilaian, dan evaluasi?

*Loh emang ketiganya beda ya?

Okelah daripada penasaran, aku coba akan bahas sedikit mengenai ketiganya, apa maksudnya dan apa bedanya.

Kita mulai dulu dari definisinya.

Pengukuran dapat didefinisikan sebagai sebuah usaha untuk memperoleh skor pada suatu variabel. Jadi gini nih, misalnya sebuah variabel, katakanlah tinggi badan. Nah, usaha untuk memperoleh skor tinggi badan seseorang, disebut pengukuran atau mengukur.

*Loh bukannya sama aja kayak penilaian?

Sabar sob. Kita bahas definisinya dulu, setelah itu baru lihat bedanya di mana.

Penilaian bisa didefinisikan sebagai justifikasi atau pemberian kriteria pada hasil pengukuran. Misalnya sebuah pengukuran terhadap tinggi badan seseorang didapatkan hasil sebesar 175cm. Nah, dari hasil itu diberikan kriteria, misalnya tinggi atau pendek (175cm pendek ya kali, contoh aja ini mah).

Nah, kalau evaluasi diartikan sebagai sebuah analisis terhadap hasil penilaian dan pengukuran secara komprehensif. Biasanya nih, evaluasi menjadi bagian dari sebuah kegiatan. Misalnya, tinggi badan (ah elah tinggi badan mulu - yaudah biar sama kayak yang atas). Pengukuran menunjukkan hasil 175cm dan dinilai seseorang memiliki tinggi badan yang cukup tinggi. Dari hasil itu, dianalisis tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tinggi badan orang tersebut, misalnya olahraga, gizi, keturunan, dan lain-lain.

Gimana, udah mulai tau bedanya, kan?

*Oh berarti evaluasi paling ribet ya?

Bukan gitu kawan. Dari ketiga konsep di atas (pengukuran, penilaian, dan evaluasi), terdapat perbedaan yang kira-kira dapat disimpulkan bahwa "Evaluasi adalah proses final yang harus melewati serangkaian pengukuran dan penilaian. Adapun penilaian hanya dapat dilakukan ketika telah menjalani pengukuran".

Apa yang dapat kita ambil pelajaran dari materi ini? *udah kek kajian aja.

"Kita tidak bisa sembarangan menjustifikasi orang lain, sebelum mengukur (variabel pada) orang tersebut".

Tuesday, September 20, 2016

Maqashid Al-Syariah vs Hierarki Kebutuhan Maslow

Halo kawan!

Apa yang kamu tahu tentang maqashid al-syariah?
Mungkin ini terdengar asing bagi orang awam, tapi sangat familiar di kalangan santri atau pelajar, khususnya yang membidangi fikih dan ushul fiqh.

Nah, untuk hierarki kebutuhan Maslow sudah tahu dong? Yap itu adalah konsep "kebutuhan" yang dikenalkan oleh Maslow. Anak psikologi pasti kenal ini.

Oke langsung kita bahas saja ya...

Maqashid al-syariah dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang ada dibalik pensyariatan. Dapat dikatakan juga bahwa maqashid al-syariah merupakan hikmah atas pensyariatan. Artinya, dalam hukum atau syariat Islam, suatu penetapan hukum tidak terjadi begitu saja, melainkan ada makna dibalik itu semua. Terdapat tiga kelompok besar maqashid al-syariah, yaitu yang bersifat primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tersier (tahsiniy).

Hierarki kebutuhan Maslow bermula dari konsep hierarki kebutuhan dasar yang dirumuskan dari hasil observasinya pada perilaku monyet. Berdasarkan pengamatannya, didapatkan kesimpulan bahwa beberapa kebutuhan lebih diutamakan dibandingkan dengan kebutuhan yang lain. Contohnya jika individu merasa haus, maka individu akan cenderung untuk mencoba memuaskan dahaga.

Jadi sudah tahu kan tentang maqashid al-syariah dan hierarki kebutuhan Maslow. Sekarang kita coba bandingkan satu dengan yang lain. Karena sama-sama dasar, untuk maqashid al-syariah kita bandingkan yang primer saja ya.

Terdapat lima maqashid al-syariah dharuriyat, yaitu:

1. Memelihara Agama
Agama ini meliputi akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan Allah untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhannya dan hubungan antar sesama hamba. Mengapa agama? Karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. Agama harus dijaga dan dipelihara dari orang-orang yang ingin merusak agama. Meskipun begitu, agama Islam memberi perlindungan kebebasan bagi pemeluk agama lain untuk meyakini dan menjalankan ibadah sesuai apa yang diyakininya.

2. Memelihara Jiwa
Islam sangat mengecam penghilangan jiwa (baca: pembunuhan). Ancamannya tidak main-main, mulai dari ancaman mati (dan neraka tentunya), denda, tebusan, dan seterusnya. Islam sangat menghargai pemeliharaan jiwa.

3. Memelihara Akal
Akal adalah salah satu keistimewaan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Untuk menjaga akal, banyak syariat yang ditegakkan, antara lain larangan minum arak (minuman keras).

4. Memelihara Keturunan
Islam sangat menghormati kesucian manusia. Termasuk di dalamnya adalah menjaga dan memelihara keturunan, agar melahirkan umat yang selain jelas asal-usulnya, juga berkualitas. Oleh karena itu, Islam menetapkan hukum-hukum seperti larangan berzina, penentuan siapa saja yang tidak boleh dikawini, tata cara menikah, dan seterusnya.

5. Memelihara Harta
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Nah, karena manusia sangat tamak akan harta benda, dan melakukan apa pun demi mendapatkannya, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Makanya Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah (kemasyarakatan) seperti jual beli, sewa, gadai, dan lain sebagainya.

Nah, kita sudah tahu nih apa saja yang termasuk maqashid primer.

Sekarang kita gali tentang hierarki kebutuhan Maslow. To be continued...

Sunday, September 18, 2016

Haji


Umat dikatakan sempurna dalam pelaksanaan rukun Islam ketika ia telah mengucapkan syahadatain, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah, kemudian tertunaikannya shalat 5 waktu, zakat, puasa, dan menunaikan penyempurnanya yakni ibadah haji ke tanah suci bagi yang mampu. Semua umat muslim pastilah berkeinginan menunaikannya. Selain  itu juga karena memang diwajibkannya ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima sebagaimana dalam potongan ayat ke-97 dalam surat Ali Imran yang berbunyi  wa lillaahi ‘ala an naasi hijju al baiti,  yang artinya mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.

Dalam menunaikan ibadah haji, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti halnya  dalam mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan berpuasa. Seseorang mendapat kewajiban menunaikan ibadah haji ketika memenuhi 7 syarat. Yakni dia muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu, perjalanannya aman, memungkinkannya perjalanan. Mampu yang dimaksud di sini adalah mampu dalam hal ketersediaannya bekal dan alat transportasi. Sedangkan perjalanan yang aman maksudnya adalah tidak sedang terjadi peperangan sehingga mengancam keselamatan jiwa seseorang apabila menunaikan haji[1].

Haji juga mempunyai rukun-rukun yang berjumlah empat, bahkan ada yang mengatakan sampai enam. Pertama, orang tersebut harus berihram disertai niat. Ihram adalah seperti saat melakukan takbiiratu al ihraam pada waktu shalat. Artinya, selesai berniat, diharamkan hal-hal yang membatalkannya, di antaranya melakukan hubungan badan. Kedua, melaksanakan wukuf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah dari tergelincirnya matahari sampai terbitnya fajar hari raya Idul Adha. Wukuf secara bahasa artinya berdiam diri. Memang dalam rukun ini cukup berdiam diri di tanah Arafah, bahkan boleh saja kalau pun tidur atau hanya lewat saja. Namun sangat dianjurkan diisi dengan berdzikir kepada Allah. Sejarah singkat tentang penamaan Arafah itu konon di situ lah tempat beliau nabi Adam a.s. berjumpa(‘arafa : tahu) dengan Hawa. Wukuf menjadi acara inti dari pada haji, sebagaimana hadits al hajju ‘arafata, artinya haji adalah Arafah, wukuf di Arafah. Ketiga, melakukan tawaf ifadhah. Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali dengan pola melawan arah jarum jam dan dimulai di arah Hajar Aswad. Waktu pelaksanaannya adalah tengah malamnya hari raya Idul Adha. Dikatakan bahwa tawaf ifadhah ini adalah rukun yang paling utama, akan tetapi pendapat itu ditentang az Zarkasyi. Keempat, sai antara bukit Shafa dan Marwah. Sai adalah lari-lari ringan yang dilakukan di antara bukit Shafa dan Marwah selama 7 putaran berawal dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwah. Waktu sai adalah setelah melakukan tawaf ifadhah. Kelima, memotong rambut kepala minimal 3 helai selesai sai. Kegiatan tersebut biasa dikenal dengan sebutan tahallul, yang dapat diartikan orang yang berihram tersebut boleh atau halal melakukan sebagian hal yang sebelumnya diharamkan. Keenam,  tertib. Jadi dalam serangkaian acara haji tersebut harus dilakukan secara berurutan dari ihram sampai tahallul[2].

Selain syarat dan rukun, haji juga mempunyai wajib-wajib dan beberapa kesunahan. Wajib-wajib haji yakni ihram dari miqat(batas), bermalam di Mina dan Muzdalifah, melempar jamarat, dan  tawaf wada’(ketika akan meninggalkan kota Makkah)[3]. Miqat sendiri ada dua macam, zamani(waktu) dan makani(tempat). Miqat zamani kebanyakan ulama berpendapat mulai bulan Syawwal sampai tanggal 10 bulan Dzulhijjah[4]. Sementara itu, miqat makani ada 5, yakni Dzulhulaifah, Yalamlam, Aljuhfah, Qarnul Manazil, dan Dzatu ‘Irqin. Adapun bermalam di Mina dan Muzdalifah dilakukan setelah wukuf di Arafah. Di Muzdalifah kebanyakan jamaah haji mengambil kerikil untuk pelaksanaan melemar jamarat yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Sementara kesunahan haji yakni melaksanakan haji ifrad(mendahulukan haji dari pada umrah), membaca talbiyah(labbaika allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik, inna al hamda wa an ni’mata laka wa al mulk, laa syarika laka), melaksanakan tawaf qudum(tawaf ketika memasuki kota Makkah), serta mandi sunah dan memakai wewangian ketika akan berihram[5].


[1] Utsman bin Sulaiman as Suwaifi, Hasyiah al Bujairami ‘ala al Khatib, al Maktabah al Syamilah, juz 7 hlm. 79-97
[2] Zainuddin al Malibari, Fath al Mu’in, al Maktabah al Syamilah, juz 2 hlm. 287-292
[3] Zakariya al Anshari, Tuhfat al Thullab, Surabaya : Maktabah Al Hidayah, hlm. 55-56
[4] Muhammad Ali al Sabouni, Rawai’ al Bayan Tafsir Ayat al Ahkam min al Quran, Jakarta : Darul Kitab Al Islamiyah, juz 1 hlm. 197
[5] Zakariya al Anshari, loc. cit.